Minggu, 18 April 2010

Tidur Siang, Perlukah?

Orang yang tidak tidur siang itu seperti setan, karena setan juga tidak pernah tidur siang.”

Kalimat diatas hingga saat ini masih terekam di memori otak saya. Kalau tidak salah, kalimat di atas adalah sebuah hadist. (Mohon diluruskan kalau salah)

Perkara tidur siang adalah hal yang saya percayai layaknya dogma. Karena memang saya belum tahu efek tidur siang bagi; terutama, otak dan semua pirantinya. Jujur, saya sangat-sangat jarang tidur siang. Berarti saya setan?

Pernah saya bekerja di proyek yang sebagian pekerjanya adalah orang Jepang, Jerman dan Korea. Mereka sangat disiplin dalam melaksanakan ritual tidur siang ini, meski hanya setengah jam (karena waktu istirahat hanya satu jam). Sementara saya sangat sulit untuk bisa ikut-ikutan tidur siang. Malahan ‘nak-nik-nak-nik’ nggak jelas. Menurut saya, waktu itu, tidur siang membuat badan saya lesu ketika bangun. Jadi, nggak perlu.

Sebuah siang di kantor orang, saya melihat koran bekas. Saya baca koran itu, yang, kebetulan pas ada artikel masalah tidur siang ini; Pentingnya tidur siang bagi memori otak.

Konon dalam tulisan di koran bekas itu, tidur siang mampu mempertajam daya ingat. Karena dalam keadaan tidur (siang hari) otak melakukan filterisasi informasi yang dari pagi hingga siang terekam dalam memori otak, dan secara otomatis mensortir lalu menghapus informasi yang bersifat sampah (spam). Sehingga ketika bangun, yang tersisa di memori hanyalah informasi penting, yang barangkali dibutuhkan. Sehingga lagi, proses pencarian data menjadi lebih cepat. Dengan adanya filterisasi dan ‘hapusisasi’ informasi di memori, ruang kosong memori otak menjadi lebih lega, longgar. Sehingga ketika beraktivitas kembali, akan mudah bagi otak untuk menyerap informasi baru.

Sumber: Kompasiana

Kenal Maka Tak Sayang

Pernyataan tak kenal maka tak sayang adalah untuk satu hal, untuk hal lain bisa jadi tidak berlaku, karena justru setelah mengenal, menjadi tidak sayang. Misalnya, putusnya ikatan pertunangan atau perkawinan bisa jadi akibat mengenal pasangan secara intensif, yaitu setelah mengetahui lebih lanjut watak, perilaku dan hal-hal tertentu yang tidak disukainya.

Berikut adalah pengenalan saya terhadap hal lainnya lagi, yang saya syukuri sebagai rahmat terselubung (blessing in disguise) dan suatu keberuntungan; beruntung pernah merasakan, mengenal dan masih diberi tambahan umur/kesempatan untuk melakukan pilihan-pilihan lain yang lebih bermutu.

Pada satu kesempatan, hasil general check-up (treadmill) menyatakan saya terkena PJK (Penyakit Jantung Koroner), sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya. Meski setelah melalui pemeriksaan lanjutan (kateterisasi) dinyatakan negatif, tetapi selama satu bulan pemeriksaan itu cukup menekan dan mengaduk-aduk perasaan saya.
sumber: kompas.com

Bermula dari tekanan perasaan itulah, saya mencari tahu tentang PJK, baik melalui buku, majalah, surat kabar, perbicangan di radio, televisi, dll. Hasilnya sungguh mengejutkan, PJK yang sejak tahun 1992 menjadi pembunuh nomor satu di Indonesia itu, sepertinya sepele saja, hanya sekedar tidak berfungsinya dua pembuluh darah/arteri koroner dengan diameter sekitar 3-4mm (untuk orang dewasa), yang memasok darah bersih dan oksigen ke otot-otot jantung. Karena sepele itulah sehingga kurang diperhatikan.

Pada PJK terjadi penyempitan pembuluh darah koroner akibat proses aterosklerosis, yaitu penebalan pada dinding bagian dalam pembuluh darah karena endapan kolesterol dan lemak. Lapisan endapan atau deposit lemak ini disebut plak (plaque).

Menjadi fenomena alamiah, seiring bertambahnya usia, lapisan plak itu semakin menebal, sehingga saluran (inside diameter) arteri itu makin mengecil. Mencapai puncaknya hingga di atas usia 80 tahun. Ditengarai sebagai gaya hidup tidak sehat bila percepatan pengendapan itu tinggi, yaitu pada usia muda sudah terkena (gejala) PJK.

Banyak faktor penyebab pengendapan itu. Makanan menjadi faktor utama, yaitu yang terlalu banyak mengandung minyak, lemak jenuh dan santan. Maka perlu berhitung-hitung ketika bertemu makanan kesukaan, seperti: sate, ayam bakar, rendang, semur daging, tongseng, iso, tunjang, cincang, gulai, tetelan, sandung lamur, bistik, laksa, sop buntut, opor ayam, coto makasar, soto betawi, soto kudus, rawon, bakso sumsum, fried chicken, mie ayam, nasi kebuli, nasi goreng, mangut lele, gudeg komplit dengan kreceknya, dll; dan perlu membiasakan diri dengan makanan berserat, seperti: tahu, tempe, karedok, sayur asem, ketoprak, pecel, gado-gado, kupat tahu, urap, lalapan, cah kangkung, cah jamur, cah toge dan cah-cah lainnya.

Mempermainkan Kejujuran dan Ketidakjujuran

Dalam dua hari ini saya selalu menulis yang ada hubungannya dengan kejujuran dan ketidakjujuran. Sampai ada Kompasianer yang bingung dan mempertanyakan , kenapa ini dan ada apa ini? Apakah saya sedang bingung dan linglung ?

Pada pagi hari menulis untuk bersikap jujur, sorenya sudah berubah , justru mengajak untuk berani tidak jujur ! Dengan setengah bercanda saya katakan, bahwa saya sedang mempermainkan kejujuran dan ketidakjujuran. Bukankah hidup ini memang permainan ? Yang penting adalah bisa menjadi sebagai pengendali permainan yang sedang berlangsung, bukannya jadi permainan hidup itu sendiri .

Tetapi setelah mempermainkan tentang kejujuran dan ketidakjujuran dalam kata - kata, menimbulkan suatu kesadaran , bahwa hidup ini memang tidak boleh bermain-main dengan kejujuran dan ketidakjujuran, semua harus berjalan pada jalurnya .
Karena takut akhirnya justru tersesat dalam permainan tersebut .

Dalam hidup memang penting untuk mempunyai prinsip dan berpendirian teguh. Namun tak kalah penting adalah juga bisa menyesuaikan keadaan yang dihadapi atau fleksibel menyikapi hidup ini.
Tidak kaku dalam menghadapi permasalahan hidup, namun tetap berada dijalurnya. Seperti halnya kereta api yang tetap berada direlnya, walaupun jalannya harus meliuk-liuk kekiri dan kekanan mengikuti jalannya dan bisa sampai tujuan dengan selamat.

Terhadap satu masalah , kita memang perlu harus jujur, tidak boleh ditawar-tawar, tetapi terhadap satu masalah lagi, kejujuran bisa saja tidak berlaku . Mungkin ada menganggap hal ini sebagai sikap plin-plan, namun menurut saya justru adalah sebuah ketegasan menghadapi permasalahan hidup.

Sebagai contoh, terhadap seseorang yang berseberangan dengan saya, pada suatu saat saya tak akan segan mengkritiknya. Tetapi pada saat lain saya pun tak segan untuk memujinya_pendapatnya_ bila yang dilakukan adalah hal yang baik . Tidak hantam kromo , apapun yang dilakukan selalu dengan kritikan dan kecurigaan .
Menurut saya ini pun merupakan sebuah kejujuran, tidak perlu malu menutupi untuk memberikan pujian kepada musuh sekalipun . Semuanya mengalir sesuai isi hati. Tetapi kadang kita masih tidak berani untuk jujur berkata sesuai isi hati.

Demikianlah hidup, harus bisa untuk menjadi bijak untuk dapat menjadi yang seharusnya dalam bersikap . Benar atau salah selalu direnungkan dan tanyakan pada hati nurani .
Sumber: kompas.com

Terapi Kognitif Saat Berpuasa

SETIAP bulan puasa hampir selalu kita mendengarkan nasihat untuk mengendalikan pikiran dan perasaan kita. Puasa bukan hanya tidak makan dan minum, melainkan juga menjaga pikiran dan perasaan kita agar mendapat berkah di bulan penuh rahmat ini.

Banyak orang menjadi lebih sabar dan tawakal di bulan suci ini. Kemarahan dan rasa benci harusnya dijauhi di bulan yang penuh berkah ini.Semua umat Islam yang menjalankan puasa ini berusaha untuk menahan segala bentuk emosi yang merusak.Tentunya hal ini dengan harapan,agar puasanya tidak batal dan membawa berkah bagi yang menjalankannya.

Terapi Kognitif

Sebenarnya apa yang dilakukan umat Islam di bulan puasa ini, yaitu dengan menjaga pikiran dan perasaan dari hal yang negatif adalah salah satu bentuk terapi kognitif. Terapi kognitif mempunyai fungsi untuk mengubah pola pikir menjadi lebih baik.Kebanyakan dari kita mempunyai kecenderungan untuk berpikir negatif terhadap orang lain atau sesuatu hal. Untuk itulah terapi kognitif dilakukan, mengubah pola pikir negatif menjadi pola pikir yang positif. Salah satu contoh yang paling sering terjadi misalnya bila atasan kita selalu mengkritik pekerjaan kita.

Kita sering menjadi kesal dan marah karena kritikan dan sikap atasan kita itu. Bila kita terus membiarkan diri kita larut dalam suasana perasaan yang tidak menyenangkan tersebut, akhirnya akan membuat kita tidak nyaman bekerja dan menjadi semakin sering berbuat salah. Bagaimana jika kita menganggap kritikan itu sebagai suatu hal yang akan membuat pekerjaan kita semakin baik. Kita membutuhkan kritik itu untuk membuat kita semakin bekerja lebih baik.Tanpa kritikan,malah kita bekerja tanpa bimbingan, sehingga malah kita membutuhkan kritik untuk menjadi lebih baik lagi.

Terlihat bahwa cara pandang kita yang berbeda terhadap segala sesuatu hal bisa membuat perilaku kita menghadapi kondisi itu pun menjadi berbeda.Maka itu,sering kali terapi kognitif dibarengi juga dengan terapi perilaku. Intinya bila kognitif berubah maka perilaku juga akan mengikuti. Pada bulan puasa, terapi kognitif ini mendapat tempatnya dalam kehidupan sehari-hari umat Islam yang menjalankan puasa. Bila menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan, kita akan berusaha lebih sabar dengan memberikan suatu pola pikir yang positif terhadap kondisi tersebut.
Sumber: kompasiana