Selasa, 23 Maret 2010

Boston Selalu Mencengangkan





ABUN SANDA

Tak perlu ke Amerika Serikat kalau tidak ke Boston. Kalimat ini memang cuma seloroh anak-anak muda yang mengenal Amerika Serikat dari dekat. Akan tetapi, selorohan itu sesungguhnya banyak juga benarnya karena Boston menjadi salah satu pilar penting pendidikan di Amerika Serikat. Kota amat elok di tepi Massachusetts Bay ini setiap tahun dikunjungi setidaknya 20 juta wisatawan.

Berbicara tentang Boston selalu menyentuh sejumlah perguruan elite dunia yang sangat terpandang, di antaranya Harvard Unversity dan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Di dua perguruan tinggi inilah lahir banyak pemikir besar dunia, termasuk yang kini berkarya di Indonesia. Dari sana pula lahir sejumlah presiden serta para pemenang hadiah Nobel, Pulitzer, Oscar, dan sebagainya. Di bidang olahraga, Boston juga terpandang. Klub basket Boston Celtics, sekadar menyebut satu contoh, serta surat kabar berwibawa, Christian Science Monitor, juga berasal dari kota ini.

Tentu bukan hanya beberapa aspek itu yang membuat kota seluas 232,14 km persegi ini selalu berada di panggung dunia. Boston nyaman dihuni karena menjadi salah satu kota besar dengan tingkat polusi amat rendah di Amerika Serikat. Di Boston ini jua, sejumlah ruas vital jalan tol dijadikan taman berpohon lebat. Jalan tolnya sendiri “dipindahkan” ke bawah permukaan tanah. Para pengusaha dan warga Boston juga amat ramah pada alam. Mereka membangun taman di atap rumah atau atap gedung pencakar langit sehingga dari udara, Boston tampak mencengangkan. Taman-tamannya tidak hanya berada di permukaan tanah, tetapi ada juga yang merengkuh langit.

Hal yang tidak kalah memukau, gedung-gedung tinggi yang beratap taman itu dikerjakan dengan selera arsitektur kelas wahid. Seorang pengembang besar Indonesia berujar, kalau sedang “buntu”, ia memilih datang ke Boston dan Chicago untuk mengail inspirasi. Tidak heran kalau produk pengembang ini bermutu amat tinggi.

Warga Boston hidup penuh damai. Para pejalan kaki, penyuka joging, pengguna sepeda, dan kendaraan bermotor hidup berdampingan secara damai. Nyaris tak terdengar jerit klakson di kota berpenduduk empat juta lebih ini.

Irwan Julianto, rekan yang meraih gelar master di Harvard University, menitipkan pesan. Kalau ke kota rupawan ini, jangan lupa meluangkan waktu untuk mendengarkan orang-orang Indian Andes meniup peluit. Jangan pula lewatkan kesempatan melihat orang bermain catur di pelataran Au Bon Pain, atau menghirup wanginya asap kayu pembakar pizza di Pizzeria Uno. (Edi Taslim/Fitricia Juanita)/ ( Kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar