Rabu, 13 Oktober 2010

Etika Bisnis III

Berbicara tentang bisnis, maka kegiatan ini identik dengan mencari untung yang sebesar-besarnya. Bisnis jenis apapun menghendaki adanya keuntungan, dimana prinsip ini juga dipegang oleh para pelaku bisnis di Indonesia. Karena tujuannya mencari untung, kadangkala didalam dunia bisnis segala cara ditempuh dianggap halal, asalkan dapat untung. Para pelaku bisnis kadangkala tidak peduli apakah pihak lain akan dirugikan atau menderita karena praktek bisnis yang dilakukannya. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tampak didunia usaha kita saat ini.
Menurut Black’s Law Dictionary, “bussiness” adalah “employment, occupation, proffesion or commercial activity engaged for gain or livehood”, atau, “activity or enterprise for gain, benefit, advantage or livehood”. Tidaklah berlebihan jika dipesankan, bahwa “kerja” dan “kegiatan” demi “manfaat” atau “nafkah” merupakan esensi dalam “bisnis”. Pada akhirnya, obyek dari kerja atau kegiatan itu adalah substans yang berbentuk barang atau jasa,yang sebenarnya seluruhnya dapat dikembalikan kepada exploitasi terhadap sumber-sumber alam (natural resources). Sehingga pada akhirnya persoalan bisnis adalah persoalan distribusi dari hasil sumber-sumber alam di antara umat manusia.


Dalam aspek hukum, gejala merosotnya praktek bisnis tampak dari munculnya istilah “praktek profesi percaloan”, dan orang mulai merasa bahwa segala yang mengandung orientasi bisnis pasti ada yang menguasainya. Apa artinya jika dikatakan bahwa praktek bisnis mengalami kemerosotan (seriouly impaired)? Apa ukurannya untuk menilai demikian? Jawabnya adalah jika etika bisnis tidak dipatuhi oleh sebagian besar para pelaku bisnis. Tetapi, apa etika bisnis itu, dan mengapa pelaku bisnis memerlukan kode etik? Jawabannya akan tergantung pada pengertian kita tentang profesi itu sendiri.
Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda; baan; Inggeris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari pekerjaan sambilan.
Pelaku bisnis adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidang bisnis. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan pelaku bisnis yang memerlukan pelayanan dalam bidang yang memerlukan keahlian berkeilmuan itu. Pelaku bisnis yang bersangkutan sendiri yang memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengembanan profesionalnya. Ia secara pribadi bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena itu, hakikat hubungan pelaku bisnis dan bidang garapannya adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Walaupun demikian, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pelaku bisnis dan bidang garapannya itu secara sosio-psikologis terdapat ketidakseimbangan. Dalam pengembanan profesinya, seorang pelaku bisnis memiliki dan menjalankan otoritas profesional terhadap bidang usahanya, yakni otoritas yang bertumpu pada kompetensi teknikalnya yang superior.
Hukum bisnis di sini bukanlah kaidah-kaidah teknis atau “kiat” untuk menjalankan bisnis, melainkan lebih berkenaan tatanan norma etik yang harus ditaati oleh para pelaku bisnis. Dilihat daris sisi yang negatif (dalam arti larangan), esensi dari etika bisnis sebenarnya untuk sebagian besar untuk ditampung dalam hukum pidana. Sebabnya adalah, karena aneka larangan untuk misalnya mencuri (membobol komputer bank), menipu ( mengumumkan neraca dan pernyataanlaba/rugi yang fiktif), memalsu tanda tangan untuk menerobos rekening orang lain dan sebagainya, sudah ditangani oleh hukum pidana. Meskipun demikian memang sudah diakui secara luas, bahwa finesse dalam kejahatan bisnis sudah demikian halusnya, sehingga dapat lolos dari lubang jarum hukum pidana.
Relevansi dari pengembangan hukum bisnis lebih terkait pada sisinya yang positif, dalam arti “keharusan”. Kebutuhan itu tumbuh karena perkembangan teknik dan dimensi bisnis itu sendiri yang sudah mencapai tingkat yang sedemikian rupa, sehingga diperlukan upaya-upaya baru untuk menghindarkanberkembangnya kesimpangsiuran dan ketidaktertiban dalam lalu lintas transaksi bisnis, serta jatuhnya korban di kalangan masyarakat luas, yang justru kurang tahu cara untuk membela diri.

Sumber:lodayaweb.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar