Senin, 18 Oktober 2010

MENGHINDARKAN KEBANGKRUTAN PERUSAHAAN MELALUI IMPLEMENTASI GCG & ETIKA BISNIS

Akhir-akhir ini masalah Good Corporate Governance (GCG) dan Etika Bisnis banyak mendapat sorotan. GCG dan Etika Bisnis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. GCG lebih memfokuskan pada penciptaan nilai (value creation) dan penambahan nilai (value added) bagi para pemegang saham, sedangkan etika bisnis lebih menekankan pada pengaturan hubungan (relationship) dengan para stakeholders. Saat ini, ternyata masih banyak perusahaan yang belum menyadari arti pentingnya implementasi GCG dan praktik etika bisnis yang baik bagi peningkatan kinerja perusahaan. Sebagai contoh, banyak praktek bisnis di berbagai perusahaan yang cenderung mengabaikan etika. Pelanggaran etika memang bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk meraih keuntungan, masih banyak perusahaan yang melakukan berbagai pelanggaran moral yang tidak etis, seperti praktik curang, monopoli, persekongkolan (kolusi), dan nepotisme seperti yang telah diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Manfaat

Terdapat 4 (empat) manfaat implementasi GCG dan etika bisnis bagi perusahaan. Pertama, dapat meningkatkan nilai perusahaan (corporate value). Kedua, bagi perusahaan yang telah go publik dapat memperoleh manfaat berupa meningkatnya kepercayaan para investor. Selain itu karena adanya kenaikan harga saham, maka dapat menarik minat para investor untuk membeli saham perusahaan tersebut. Ketiga, dapat meningkatkan daya saing (competitive advantage) perusahaan. Keempat, membangun corporate image / citra positif , serta dalam jangka panjang dapat menjaga kelangsungan hidup perusahaan (sustainable company).

Kasus

Beberapa waktu yang lalu muncul beberapa kasus kebangkrutan perusahaan di Amerika Serikat yang menghebohkan kalangan dunia usaha yaitu kasus Enron, Worldcom & Tyco gate. Hal tersebut terjadi karena terdapat pelanggaran etika dalam berbisnis (unethical business practices), padahal Amerika termasuk negara yang sangat mengagungkan prinsip GCG dan etika bisnis. Penyebab kebangkrutan beberapa perusahaan tersebut, karena diabaikannya etika bisnis serta prinsip GCG, terutama prinsip keterbukaan, pengungkapan dan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan. Implementasi GCG memang tidak bisa hanya mengandalkan kepercayaan terhadap manusia sebagai pelaku bisnis dengan mengesampingkan etika. Seperti kita ketahui, sebagus apapun sistem yang berlaku di perusahaan, apabila manusia sebagai pelaksana sistem berperilaku menyimpang dan melanggar etika bisnis maka dapat menimbulkan fraud yang sangat merugikan perusahaan. Beberapa saat setelah krisis ekonomi melanda negeri kita sekitar tahun 1997 yang lalu, banyak terdapat bank-bank yang berguguran alias ditutup usahanya, sehingga termasuk kategori Bank Beku Operasi, Bank Belu Kegiatan Usaha dan Bank dalam Likuidasi. Salah satu penyebab kebangkrutan bank-bank tersebut karena perbankan Indonesia pada saat itu belum menerapkan prinsip-prinsip GCG serta etika bisnis secara konsisten. Semoga kasus kebangkrutan perusahaan di Amerika serikat serta perbankan di Indonesia tersebut, dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk diambil hikmahnya, sehingga dalam pengelolaan perusahaan tetap berpedoman pada etika bisnis yang baik serta menerapkan prinsip GCG.

Penegakan etika

Membangun etika bisnis di perusahaan perlu dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan. Penegakan etika bisnis seharusnya dimulai dari manajemen puncak (Top Management) dan hendaknya dilaksanakan secara transparan. Para karyawan sebagai bawahan biasanya akan meneladani apa yang dikerjakan oleh atasannya (pimpinan). Pada saat ini, kita sangat membutuhkan pemimpin perusahaan yang dapat dijadikan sebagai panutan. Praktik etika bisnis yang baik perlu dituangkan dalam suatu ”Corporate Code of Conduct & Business Ethics” yang mengatur pedoman tentang apa yang “boleh” dan “tidak boleh” dlakukan oleh karyawan dan manajemen perusahaan dalam menjalankan bisnis sehari-hari. Pedoman tersebut dapat dijadikan sebagai acuan pokok (guideline) perusahaandalam menghadapi para customer, vendor / pemasok, pemegang saham, pemerintah dan masyarakat (publik) serta pihak-pihak lainnya yang mempunyai hubungan dengan perusahaan. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG dan etika bisnis hendaknya dilaksanakan secara konsisten dan agar dihindarkan adanya standar ganda (double standard). Pelangaran terhadap etika bisnis perlu dikenakan sanksi (punishment) yang tegas serta tanpa pandang bulu. Artinya sanksi diberikan kepada pelanggar tanpa membedakan antara karyawan dengan pimpinan perusahaan (manajemen). Sebaliknya bagi yang melaksanakan etika bisnis secara konsisten hendaknya diberikan penghargaan (reward) sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

Peran pemerintah

Perusahaan yang menjalankan prinsip GCG dan etika bisnis hendaknya mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pemerintah sebagai pihak yang mengatur (regulator) jalannya roda perekonomian memiliki peranan sangat penting sehingga bisnis yang dijalankan oleh berbagai perusahaan tetap berjalan sesuai jalur yang telah ditetapkan. Apabila terdapat pelanggaran terhadap etika bisnis oleh perusahaan, maka perlu dilakukan tindakan sesuai dengan bobot kesalahannya, bahkan kalau diperlukan perusahaan yang bersangkutan dapat ditutup usahanya. Selain itu Bank Indonesia pada tanggal 30 Januari 2006 yang lalu telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum. Upaya BI dengan mengeluarkan peraturan tentang pelaksanaan GCG tersebut sudah tepat, meskipun agak terlambat. Tujuan dikeluarkan PBI tersebut adalah untuk memperkuat kondisi internal perbankan nasional dalam menghadapi risiko yang semakin kompleks, berupaya melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan (compliance) terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika (ethics values) yang berlaku umum pada industri perbankan. Pihak Kementerian BUMN telah lebih dahulu mengeluarkan ketentuan tentang penerapan praktek GCG pada BUMN sesuai Surat Keputusan No. KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002. Semoga semakin banyak perusahaan (termasuk BUMN dan perbankan) yang menerapkan prinsip GCG dan etika bisnis, sehingga dapat mencegah terjadinya kebangkrutan prusahaan serta roda perekonomian dapat pulih seperti sebelum terjadinya krisis ekonomi melanda negeri kita. Amin.***

Penulis adalah internal auditor sebuah BUMN serta dosen luar biasa beberapa perguruan tinggi di Jakarta (FE Universitas Trisakti, STIE Trisakti & FE Universitas Mercu Buana).


Sumber : Muh.Arief Effendi

Rabu, 13 Oktober 2010

Etika Bisnis IV

Etika Bisnis

Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.

Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;

Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun perusahaannya.
Pertanyaan nya bagaimana menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis ini agar benar-benar dapat operasional? Sonny juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya banyak perusahaan besar telah mengambil langkah yang tepat kearah penerapan prinsip-prinsip etika bisnis ini, kendati prinsip yang dianut bisa beragam. Pertama-tama membangun apa yang dikenal sebagai budaya perusahaan (corporate culture). Budaya perusahaan ini mula pertama dibangun atas dasar Visi atau filsafat bisnis pendiri suatu perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik. Visi ini kemudian diberlakukan bagi perusahaannya, yang berarti Visi ini kemudian menjadi sikap dan perilaku organisasi dari perusahaan tersebut baik keluar maupun kedalam. Maka terbangunlah sebuah etos bisnis, sebuah kebiasaan yang ditanamkan kepada semua karyawan sejak diterima masuk dalam perusahaan maupun secara terus menerus dievaluasi dalam konteks penyegaran di perusahaan tersebut. Etos inilah yang menjadi jiwa yang menyatukan sekaligus juga menyemangati seluruh karyawan untuk bersikap dan berpola perilaku yang kurang lebih sama berdasarkan prinsip yang dianut perusahaan.

Berkembang tidaknya sebuah etos bisnis ditentukan oleh gaya kepemimpinan dalam perusahaan tersebut.
Sumber : edratna.wordpress.com

Etika Bisnis III

Berbicara tentang bisnis, maka kegiatan ini identik dengan mencari untung yang sebesar-besarnya. Bisnis jenis apapun menghendaki adanya keuntungan, dimana prinsip ini juga dipegang oleh para pelaku bisnis di Indonesia. Karena tujuannya mencari untung, kadangkala didalam dunia bisnis segala cara ditempuh dianggap halal, asalkan dapat untung. Para pelaku bisnis kadangkala tidak peduli apakah pihak lain akan dirugikan atau menderita karena praktek bisnis yang dilakukannya. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tampak didunia usaha kita saat ini.
Menurut Black’s Law Dictionary, “bussiness” adalah “employment, occupation, proffesion or commercial activity engaged for gain or livehood”, atau, “activity or enterprise for gain, benefit, advantage or livehood”. Tidaklah berlebihan jika dipesankan, bahwa “kerja” dan “kegiatan” demi “manfaat” atau “nafkah” merupakan esensi dalam “bisnis”. Pada akhirnya, obyek dari kerja atau kegiatan itu adalah substans yang berbentuk barang atau jasa,yang sebenarnya seluruhnya dapat dikembalikan kepada exploitasi terhadap sumber-sumber alam (natural resources). Sehingga pada akhirnya persoalan bisnis adalah persoalan distribusi dari hasil sumber-sumber alam di antara umat manusia.


Dalam aspek hukum, gejala merosotnya praktek bisnis tampak dari munculnya istilah “praktek profesi percaloan”, dan orang mulai merasa bahwa segala yang mengandung orientasi bisnis pasti ada yang menguasainya. Apa artinya jika dikatakan bahwa praktek bisnis mengalami kemerosotan (seriouly impaired)? Apa ukurannya untuk menilai demikian? Jawabnya adalah jika etika bisnis tidak dipatuhi oleh sebagian besar para pelaku bisnis. Tetapi, apa etika bisnis itu, dan mengapa pelaku bisnis memerlukan kode etik? Jawabannya akan tergantung pada pengertian kita tentang profesi itu sendiri.
Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda; baan; Inggeris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari pekerjaan sambilan.
Pelaku bisnis adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidang bisnis. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan pelaku bisnis yang memerlukan pelayanan dalam bidang yang memerlukan keahlian berkeilmuan itu. Pelaku bisnis yang bersangkutan sendiri yang memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengembanan profesionalnya. Ia secara pribadi bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena itu, hakikat hubungan pelaku bisnis dan bidang garapannya adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Walaupun demikian, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pelaku bisnis dan bidang garapannya itu secara sosio-psikologis terdapat ketidakseimbangan. Dalam pengembanan profesinya, seorang pelaku bisnis memiliki dan menjalankan otoritas profesional terhadap bidang usahanya, yakni otoritas yang bertumpu pada kompetensi teknikalnya yang superior.
Hukum bisnis di sini bukanlah kaidah-kaidah teknis atau “kiat” untuk menjalankan bisnis, melainkan lebih berkenaan tatanan norma etik yang harus ditaati oleh para pelaku bisnis. Dilihat daris sisi yang negatif (dalam arti larangan), esensi dari etika bisnis sebenarnya untuk sebagian besar untuk ditampung dalam hukum pidana. Sebabnya adalah, karena aneka larangan untuk misalnya mencuri (membobol komputer bank), menipu ( mengumumkan neraca dan pernyataanlaba/rugi yang fiktif), memalsu tanda tangan untuk menerobos rekening orang lain dan sebagainya, sudah ditangani oleh hukum pidana. Meskipun demikian memang sudah diakui secara luas, bahwa finesse dalam kejahatan bisnis sudah demikian halusnya, sehingga dapat lolos dari lubang jarum hukum pidana.
Relevansi dari pengembangan hukum bisnis lebih terkait pada sisinya yang positif, dalam arti “keharusan”. Kebutuhan itu tumbuh karena perkembangan teknik dan dimensi bisnis itu sendiri yang sudah mencapai tingkat yang sedemikian rupa, sehingga diperlukan upaya-upaya baru untuk menghindarkanberkembangnya kesimpangsiuran dan ketidaktertiban dalam lalu lintas transaksi bisnis, serta jatuhnya korban di kalangan masyarakat luas, yang justru kurang tahu cara untuk membela diri.

Sumber:lodayaweb.id

etika bisnis II

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat.
Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
• Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
• Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
• Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
• Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
• Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
• Melindungi prinsip kebebasan berniaga
• Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.

Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier.
Perlu dipahami, karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
• Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
• Memperkuat sistem pengawasan
• Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
sumer:anneahira.com

Etika Bisnis

Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika bisnis harus dimulai dengan menyediakan rerangka prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas implikasi-implikasi terhadap dunia bisnis.Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis secar umum dan menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan mendeskripsikan beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.
sumber: Anneahira.com