Sabtu, 27 Februari 2010

Hati

Yang namanya hati memang sulit diprediksi.

Kadang, hati itu bisa senang, marah, kecewa, sedih, dan
tersinggung.

Namun, hati itu harus bisa dikontrol. Tanpa dikendalikan ,sebuah hati akan berantakan bergerak tak beraturan layaknya atom-atom. Bisa ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, horizontal, atau vertikal.

Hati itu harus diatur, agar tetap rendah, jangan sampai hati yg baik jadi ternodai, atau terdoktrin untuk berfikir negatif.

Aku punya hati, kamu punya hati, kalian pun punya. Dengan porsi berbeda-beda.Namun, dengan fitrah yg sama, ingin baik, ingin disayang, diperhatikan dan dihargai.

Ingat, manusia diciptakan berbeda, tidak identik, yang terpenting adalah bagaimana usaha kita menempatkan hati dalam posisi netral, karena tidak ada manusia baik yg ingin menyakiti manusia baik lainnya. Tidaklah mungkin kalau sayang lantas menyakiti.

Bahkan mata kanan dan mata kiri kita memiliki ukuran yg berbeda,walau hanya beberapa milimikron. Apalagi hati yang tidak tampak dari luar?. Tentu sulit diprediksi.

Dalam posisi ini, seharusnya mata hati yg harus melihat. Janganlah karena hati kita sedang tidak baik, lantas melihat hati orang lain itu juga tidak baik.

Tidak ada salahnya bercermin, itu untuk kemajuan kita juga. Bukan untuk menceramahi, atau menggurui.


Maka jagalah hati kita dan sayangi.

Inilah kenyataan,

Bahwa hati manusia itu dinamis. Bukan statis.


Seni Rupa di Jerman

Sejak tahun 90-an, seni lukis dan fotografi dari Jerman meraih sukses besar di dunia internasional. Apa yang disebut “keajaiban lukisan baru Jerman” dikenal di luar negeri sebagai “Young German Artists”. Para seniman berasal dari Leipzig, Berlin atau Dresden. Neo Rauch adalah wakil paling tenar dari “Mazhab Leipzig Baru”. Gaya mazhab tersebut ditandai oleh realisme baru yang berkembang – bebas ideologi – dari “Mazhab Leipzig” lama, yang termasuk lingkup seni rupa bekas RDJ. Lukisannya sering memperlihatkan orang-orang pucat yang seolah-olah menunggu sesuatu yang tak tentu. Motif itu dapat ditafsirkan sebagai pantulan keadaan di Jerman pada awal milenium baru. Apa yang disebut “Dresden Pop”, di antaranya Thomas Scheibitz, memetik unsur dari iklan dan dari estetika video dan televisi sambil bermain dengan estetika swakaji mengenai sini dan kini.


ebanyakan seniman muda menganggap pembahasan kritis mengenai nasionalsosialisme, seperti yang ditemukan dalam karya Hans Haacke, Anselm Kiefer dan Joseph Beuys, sebagai urusan masa lampau. Sebaliknya yang tampak di kalangan perupa ialah “kebatinan baru” serta penggarapan bidang-bidang pengalaman yang saling berbenturan: Karya-karya Jonathan Meese dan André Butzer mencerminkan depresi dan fenomena-fenomena obsesi; kedua perupa itu dianggap sebagai wakil “realisme neurotik”. Dengan karyanya “Mental Maps”, Franz Ackermann menggambarkan dunia sebagai desa global dan memperlihatkan musibah yang berlangsung di balik layar. Tino Seghal menghasilkan karya seni yang eksistensinya terbatas pada waktu performance-nya dan yang tidak boleh direkam; ia mencari bentuk produksi dan bentuk komunikasi di luar batas ekonomi pasaran. Besarnya perhatian kepada seni rupa di Jerman tercermin dalam pameranyang diselenggarakan lima tahun sekali di Kassel sebagai pameran seni rupa aktual yang terkemuka di dunia.

Berbeda dengan seni rupa - yang arti pentingnya digarisbawahi oleh pendirian sejumlah museum swasta baru - seni fotografi di Jerman harus berjuang lama sampai diakui sebagai bentuk seni yang mandiri. Sebagai pelopor pada tahun 70-an dikenal Katharina Sieverding dengan rangkaian potret dirinya yang menelusuri batas antara individu dan masyarakat.

Terobosan terjadi pada tahun 90-an dengan sukses yang diraih tiga murid dari Bernd dan Hilla Becher, suami-istri yang mengajar fotografi pada Akademi Seni di Düsseldorf: Dalam karya foto mereka, Thomas Struth, Andreas Gursky dan Thomas Ruff menimbulkan realitas mengilap yang menyembunyikan sesuatu. Pengaruh kelompok ini terhadap corak fotografi begitu besar sehingga mereka dinamakan “Struffsky” saja di kalangan internasional.

Keluarga Kecil

Yang saya tahu teater itu adalah perihal menang-kalah, aplaus meriah audiens, trofi dan penghargaan. Cuma itu!

Yah, dapat kawan ataupun lawan itu bonus lah.

Sampai sekitar 2 bulan yang lalu datang tawaran dari teman saya, Tama. Untuk 'mendidik' para sepupunya, mau main teater katanya.

Tawaran itu saya iyakan, tak lupa mengajak Kinan sebagai rekan kerja sekaligus pendamping.

Dipertemukanlah saya dengan Dily, sang empunya ide sekaligus sepupu teman saya tadi. Yang tetap menunggu saya (dengan sabar) beserta Ibunya meski saya terlambat.

Dijelaskanlah rencana demi rencana termasuk sumber daya pemain yang akan dipakai sampai masalah yang paling sulit adalah uang.

Saya bersuka cita! Bagaimana tidak? klien saya orang kaya, berduit dan sudah pasti kantong saya akan tebal.


Tapi,

Setelah saya tahu tujuan pentas mereka adalah dari para cucu untuk kakek nenek mereka yang merayakan ulang tahun perkawinan.



Saya merasa berdosa sekali untuk menarik keuntungan, bahkan untuk keluarga saya sendiri tidak pernah rasanya saya tunjukkan teater/drama sebagai tanda kasih sayang. Maka dari itu tanpa berpikir untung rugi, saya katakan 'tidak' untuk sesuatu yang disebut uang.

Latihan perdana dimulai yang harus saya hadapi adalah mereka yang sangat awam dengan teater, belum lagi sebagian dari mereka masih duduk di bangku SD-SMP!.



Latihan demi latihan berjalan dan berlalu hingga pentas pun tiba. Hari-hari yang melelahkan selesai!!!
berarti besok, saatnya bagi saya kembali ke panggung yang lain, karya yang lain.

Tetapi, ada yang kurang?

kemana mereka yang tidak disiplin? yang sering datang terlambat? yang tidak mendengarkan saya dengan baik? yang malah asyik main dan bergosip saat latihan?







Ternyata!

Saya rindu mereka. tak peduli apresiasi mereka pada drama yang saya buat. Saya tak peduli.


Saya ingin bertemu lagi dengan mereka entah itu di panggung, di pasar, di hutan, di empang sampai toilet umum sekalipun.

Dily, Jessie, Tama, Aga, Keisha, Katya, Karina, Lola, Azara, Vanka, Backti, Dafa, Naya, Rana, Nasya, Arno, Anna, Kiki, Resy,Firza, dan Alvi.


Terima kasih.

Telah memberikan saya ruang, bukan hanya untuk berkarya tapi juga merasakan kehangatan keluarga yang lama tak saya rasakan.

Sabtu, 20 Februari 2010

Menjadi Bangsa Pembelajar



Judul di atas dipungut dari usul Dr Karlina Supelli, yang disampaikan dalam diskusi buku Menjadi Bangsa Terdidik. Menurut Soedjatmoko dan buku Asia di Mata Soedjatmoko di Balai Soedjatmoko, Solo, 11 Januari 2010. Tampil bersama Prof Dr Mohtar Mas’oed, Karlina usul judul buku Menjadi Bangsa Terdidik diganti Menjadi Bangsa Pembelajar.

Pembelajar menekankan proses yang tidak pernah selesai, lebih dari kata terdidik. Orang kerap merasa sudah selesai karena sudah berpendidikan, sudah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Untuk pembelajar, kata Karlina, Soedjatmoko menggunakan kata-kata ”kemampuan kolektif seluruh bangsa untuk belajar”, seraya menegaskan ”keharusan untuk belajar bersama terus-menerus”.

Catatan singkat ini tidak ingin mempersoalkan relevan tidaknya pemikiran Soedjatmoko. Itu sudah merupakan keniscayaan. Tetapi, mau menggarisbawahi usul Karlina. Tidak terutama menyangkut judul buku, tetapi tentang perlunya paradigma tidak sampai tingkat metodologi memberikan tempat kepada pemikiran-pemikiran menerobos terbang tinggi.